Selasa, 26 September 2017

A mom's journey (1)


Menjadi seorang ibu adalah sebuah perjalanan yang panjang. Masing-masing episode punya kisahnya sendiri. Ada kalanya menang namun dibanyak kesempatan gagal. Mungkin bukan gagal, hanya merasa gagal.... Yaaahhh... itulah pengalaman.

Seperti hari ini. Saya merasa gagal menjadi seorang ibu yang baik. Seminggu terakhir saya meluangkan lebih banyak waktu untuk mengajar "murid" saya satu-satunya ini. Dengan penuh semangat saya membuatkan soal-soal latihan untuk dia kerjakan. Not bad. Hampir semua dikerjakan dengan baik. Semalam, sepulang dari kerja saya langsung memeriksa soal-soal latihan yang saya tugaskan untuk dia kerjakan sambil menunggu saya pulang. Bahagianya saya melihat soal-soal sudah dikerjakan dengan baik dan saat proses tanya jawab berlangsung dia bs menjawab semua pertanyaan dengan baik. Good job nak!

"Besok jangan lupa berdoa sebelum memulai test. Jangan terburu-buru, berusahalah konsentrasi dan teliti!" Pesan yang sama yang selalu aku sampaikan setiap hari. Biar saja bosan, yang penting dia ingat terus selamanya. Agar selalu memulai segala sesuatu dengan berdoa, konsentrasi dan teliti. 

"Mom, hanya memastikan besok mid test PKN belajar dari roseapple book dan kisi2 yang sudah diberikan" demikian sepenggal kalimat yang saya baca di group whatsapp kelas sekolah Belle. Padahal baru bebrapa menit yang lalu saya print latihan soal matematika yang saya buat semalam untuk Belle kerjakan sambil menunggu saya pulang kerja hari ini. Rencananya 5 lembar soal itu akan saya kirim melalui jasa ojek online. Ya Tuhan berarti hari ini midtest matematika dan besok PKN. Ya Tuhan berarti saya salah jadwal, hari ini test Math dan Belle saya paksa belajar PKN dan tidak belajar matematika sama sekali sedangkan besok test PKN yang sudah dipelajari semalam. Tiba-tiba saja saya panik dan langsung menelepon ke rumah.

"Belle kamu lagi apa, maafin mommy krn salah liat agenda. Hari ini kamu harusnya test math kan?"
"Iya salah. Tapi Belle bisa kok mom."
"Serius kamu. Yakin kamu bisa?"
"Iya bisa."
"Yakin kamu?"
"Yakin."

Dan beberapa kali saya mengulang pertanyaan yang sama untuk meyakinkan apakah dia benar-benar bisa mengerjakan soal-soal tes matematika tersebut. Padahal percuma saja, toh testnya pun sudah berlalu. Bisa atau tidak tinggal dilihat dari nilainya. Ah sudahlah. Pada akhirnya saya harus pasrah dan belajar memaafkan diri sendiri atas kelalaian saya. Ya saya yang lalai bukan anak saya. Untuk usianya yang baru menjelang 8 tahun dia masih tergantung ibunya. Apalagi saya pernah menjadi figur ibu yang galak dan dominan khususnya urusan belajar. Lagipula jadwal diagendanya pun memang ga jelas. Entahlah, menurut saya tidak jelas. yang jelas rasanya ingin marah tapi ga tau harus marah ke siapa.

Kadang saya merasa cara saya mengajar terlalu berlebihan untuk anak seusianya. Anak saya tidak bodoh, nilai-nilainya cukup memuaskan buat saya. Tapi sayangnya saya terlalu berambisi anak ini bisa melakukan hal yang lebih dari sekarang. Untung saja skrg udah ga ada sistem ranking. Sehingga bisa meredam ambisi ibu-ibu seperti saya, yang pada akhirnya memang banyak memberi dampak negatif pada anak.

Lagi-lagi salah saya. Karena ketidakmengertian saya, saya pikir bukan suatu kesalahan memasukkan anak sekolah walau usianya belum cukup. Yang penting dia mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Ya dia mampu. Dalam berbagai wawancara dan psikotest, dia dianggap sudah mampu untuk duduk di sekolah dasar. Di TK kecil saja dia sudah bisa membaca, menulis dan menghitung sederhana. Iya bisa, tapi akan jauh lebih baik kalo dia sekolah sesuai usianya. Bayangkan dia harus dibebani sesuatu yang harusnya dia pelajari di tahun depan. Sama saja seperti memaksa anak berdiri diusia 5 bulan. Bisa? Ya mungkin bisa saja. Tapi itu bukan fase perkembangan anak 5 bulan.

Saya terlalu membandingkan anak ini dengan diri saya. "Saya bisa kok. Dulu saya masuk sekolah bahkan lebih muda lagi dan tidak ada masalah." Saya lupa kalo dia bukan saya dan saya bukan dia. Kesiapan kami mungkin berbeda. Atau mungkin saja sebenarnya dia sudah siap tapi saya yang menilainya kurang siap. Atau mungkin dulu saya juga seperti itu seandainya saya bias mengingat dengan detail apa yang terjadi saat saya berumur 8 tahun.

Ah Tuhan, kenapa sulit sekali menjadi seorang ibu yang baik. Kenapa saya ragu dia akan mampu terbang tinggi? Kenapa saya takut bagaimana nanti dia menghadapi badai? Bagaimana saya bisa bermimpi kelak dia akan seperti rajawali kalau saya terus memperlakukannya seperti merpati. Kenapa saya takut dia jatuh? Kenapa saya takut dia menghadapi masalah? Kenapa saya takut dia diperlakukan tidak baik oleh temannya? Dan banyak lagi ketakutan yang saya rasakan. Padahal kenapa harus takut kalau saya tau dia akan menjadi seorang manusia hebat. Saya bermimpi besar tentang dia, seharusnya saya "mengijinkan" dia mengalami latihan-latihan yang membuat dia menjadi kuat.

Saya banyak gagal menjadi seorang ibu. Ada kalanya saya tidak sabar dan membentak anak saya. Ada kalanya saya marah dan menghukumnya berlebihan. Saya selalu menyesal sesudahnya. Saya menyakiti anak saya dengan sikap dan kata-kata saya, namun setelahnya kami sama-sama terluka. Biasanya setelah sadar saya cepat-cepat minta maaf dan memeluk anak saya. "Tuhan, semoga saya tidak melukai dia terlalu dalam sehingga lukanya bisa segera sembuh dan dia bisa memaafkan dan melupakan." Selalu begitu ujarku dalam hati setiap kali aku sadar sudah menyakiti hati anak saya dengan kalimat yang tidak baik atau bentakan atau bahkan pukulan. Saya menyesal atas semua yang saya lakukan. Terlepas tujuan saya baik karena saya ingin dia melakukan hal yang baik dan tidak mengulangi kesalahannya, tapi caranya ternyata tidak baik, setelahnya saya selalu merasa menyesal.\

Saya sedang dalam proses untuk belajar lebih sabar. Tidak memarahi apalagi memukul. Ada yang bilang pantat diciptakan untuk "mengajar" anak. Anak salah dipukul pantatnya. Tapi untuk saat ini, saya rasa tidak lagi relevan. Anak-anak sekarang lebih senang diajak berdiskusi dan diberi pengertian. dan memang seharusnya akan jadi lebih baik kalau semua masalah dibicarakan baik-baik. Tidak mudah memang, apalagi anak saya seringkali mengkondisikan "tidak bisa diajak bicara baik-baik". Misalnya saja, saat saya melarangnya sesuatu, bukannya diskusi dan berusaha mengerti apa yang saya maksud malahan langsung menangis merengek-rengek. Apalagi kalo instruksi dan larangan tersebut saya lakukan per telepon rasanya ingin cepat-cepat tutup telepon daripada mendengarnya menangis. Belajar untuk merayunya agar mau bicara dan mengerti apa yang kita maksud tidak selalu mudah. Tapi semua harus dimulai dan terus dibiasakan.

Tidak mudah menjadi seorang ibu. Tapi kalo saya dipercayakan Tuhan menjadi seorang ibu. Saya tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan ini. Saya harus mendidik "murid" yang dipercayakan kepada saya dan harus saya didik sejak dalam kandungan saya agar kelak dia bisa menjadi manusia hebat yang mampu mengarungi dunia ini.

Dalam segala kegalauan saya hari ini, saya berjanji untuk tidak menyerah dan akan terus belajar menjadi seorang ibu yang baik untuk Belle.

Ya hari ini saya melakukan kesalahan but the game is not over yet. Saya akan terus berjuang semampu saya to finish this race well.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar