Minggu, 24 Agustus 2014

Fiction : The Game is Over

Musuh yang paling mengerikan bukanlah orang lain yang berusaha menghancurkanmu, bukan pula iblis yang selalu mencoba menjerumuskanmu, tapi dia adalah dirimu sendiri.

Jam dinding tua di ruang tamu berdentang sepuluh kali, bertepatan dengan langkah kakiku keluar dari kamar mandi. Jam sepuluh malam rupanya. Segala upaya sudah kulakukan demi terbangun dari tempat tidur yang telah menopang tubuhku hampir sepanjang hari. Masih teringat kejadian malam kemarin, saat pulang kerumah dalam keadaan lemas tak berdaya. Jam 5 sore, ya Jam 5 sore demam mulai menjalar diseluruh tubuhku, Badan menggigil kedinginan padahal suhu tubuhku meningkat drastis. Seluruh tubuh terasa kaku dan tiba-tiba ada nyeri hebat di kepala dan di ulu hati bagai teriris. Aku masih mengabaikan rasa sakit itu, dan terus memandangi telepon menunggu kabar.

Satu jam telah berlalu, aku ada di balik kemudi, mengendarai mobil sepelan mungkin sambil merayap dipinggiran jalan tol. Air mata terus mengalir menahan sakit yang terus menikamku. Aku harus kuat minimal untuk bisa sampai di rumah sakit. Tapi rasanya sudah tidak mungkin, dengan membawa seorang anak kecil disebelahku lebih baik aku pulang. Seorang lelaki terus menelepon dan memastikan aku sampai di rumah sakit dan mendapatkan pertolongan. Ya kujawab saja sudah. Biar dia tenang. Aku menegak 2 butir mefinal dan tidak lama langsung tertidur tanpa sadar aku tidur dengan meninggalkan seorang anak kecil disebelahku dalam keadaan lapar.

Hampir pagi aku terbangun, kulihat anak kecil sudah tidur disebelahku, bajunya sudah diganti, bungkus makanan berserakan dimana-mana, susu cair berceceran dilantai, ah mungkin dia kesulitan saat menusukan sedotan kekotaknya, pasti dia kelaparan. Entah jam berapa dia tidur. Kucium keningnya sambil mengucapkan maaf karena kemarin mengabaikannya. Segenap tenaga kukerahkan demi bisa duduk dan berusaha berdiri. Bisa, tapi seketika itu juga darah serasa mengalir deras dari ubun-ubun, dan aku hilang keseimbangan. Mual pun semakin menjadi-jadi. Tuhan... Apalagi ini?

Aku berusaha untuk memulai aktivitas seperti biasa, namun semuanya sia-sia. Semua makanan yang masuk aku keluarkan lagi. Aku hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Berkali-kali harus ditopang walau hanya untuk berjalan beberapa meter ke kamar mandi. Seluruh tubuh dingin, sendi-sendi terasa kaku, semua sakit, semua sakit, semua sakit, tanpa mampu mengucapkannya kepada siapapun. Mungkinkah ini akhir? Kalaulah ini akhir, lebih baik segera saja. Segera saja? Ya, segera saja. Agar semua drama ini segera berakhir. Aku lelah bermain peran.

Saat tersadar aku sudah ada didalam mobil , terbaring lemas. Sambil terpaksa kutegak air dalam botol yang disodorkan anak kecil itu ketanganku. Terpaksa kuminum sambil menahan rasa mual. Yang kucari hanya handphone, berharap ada seseorang yang peduli dengan keadaanku dan harapan itu ternyata sia-sia. Dalam perjalanan ini aku tersadar mungkin ini hanya permainannya, dan aku terjebak dalam permainannya. Mengapa aku begitu bodoh membalas permainan dengan ketulusan? Mengapa aku terlambat menyadari bahwa ini hanya sebuah permainan? Bayangkan dia sedang tertawa disana dengan kehidupan nyatanya, dan aku tersiksa disini karena bertahan hidup dalam kefanaan. Aku meninggalkan semuanya untuk sebuah kefanaan, meninggalkan semua impian dan menggantinya dengan sebuah kefanaan, dan disana dia berbahagia dalam kenyataan.

Aku hanya bisa menjelaskan rasa sakit yang kurasakan. Beruntung tidak ada ruangan yang tersedia di rumah sakit itu. Aku memilih untuk pulang daripada dirawat di ruang ugd semalaman atau mungkin menunggu ada pasien yang meninggal untuk tempat tidurnya aku pakai. Setelah disuntik, yang ternyata hanya vitamin B complex untuk mengurangi nyeri, aku memilih untuk pulang dan terlelap dalam kedukaan. Mencoba untuk merasionalkan keadaan, memahami waktu, berdamai dengan diri sendiri, tapi semuanya gagal. Terlalu banyak tuduhan yang diberikan kepadaku dari diriku sendiri. Aku mengintimidasi diriku sendiri. Aku menghancurkan diriku sendiri. Aku merusak diriku sendiri. Pikiranku kacau, tidak mampu lagi berpikir. Aku bagai seorang pesakitan yang sedang menunggu putusan mati atas diriku sendiri. Kalaupun harus mati, lakukanlah sesegera mungkin, agar sakitnya tidak menyiksaku.

Lebih dari setengah jam aku duduk dihadapan cermin sambil menatap kosong kedalamnya. Air menetes dari ujung rambutku yang terurai. Rasa sakit perlahan hilang, setidaknya tidak separah pagi hingga sore tadi. Berusaha tersenyum pada bayangan dihadapanku, namun hanya air mata yang keluar seiring dengan kebencian yang mendalam padanya. Sudah jam satu, seseorang mengingatkanku untuk tidur daripada duduk terpaku kaku dihadapan laptop untuk menuliskan kisah ini. Sudah hari baru, aku harus memutuskan sesuatu. Aku keluar dari permainanmu. Silahkan mainkan permainanmu sendiri. Aku telah menjadi musuh atas diriku sendiri dan ini jauh lebih mengerikan dari apa yang bisa aku bayangkan karena tidak ada lagi perdamaian.


This will be last story i ever make about you and your stupid games.
This will be the last time you ever cross my mind.
This will be the last time I wonder where you are or what you are doing.
This will be the last time I dream about what could have been
This will be the last time I wish that things were different.
This will be the last time...
Because You mean nothing to me anymore...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar