Musuh yang paling mengerikan bukanlah orang lain yang berusaha
menghancurkanmu, bukan pula iblis yang selalu mencoba menjerumuskanmu, tapi dia
adalah dirimu sendiri.
Jam dinding tua di ruang tamu
berdentang sepuluh kali, bertepatan dengan langkah kakiku keluar dari kamar
mandi. Jam sepuluh malam rupanya. Segala upaya sudah kulakukan demi terbangun
dari tempat tidur yang telah menopang tubuhku hampir sepanjang hari. Masih
teringat kejadian malam kemarin, saat pulang kerumah dalam keadaan lemas tak
berdaya. Jam 5 sore, ya Jam 5 sore demam mulai menjalar diseluruh tubuhku, Badan
menggigil kedinginan padahal suhu tubuhku meningkat drastis. Seluruh tubuh
terasa kaku dan tiba-tiba ada nyeri hebat di kepala dan di ulu hati bagai teriris. Aku masih
mengabaikan rasa sakit itu, dan terus memandangi telepon menunggu kabar.
Satu jam telah berlalu, aku ada
di balik kemudi, mengendarai mobil sepelan mungkin sambil merayap dipinggiran
jalan tol. Air mata terus mengalir menahan sakit yang terus menikamku. Aku
harus kuat minimal untuk bisa sampai di rumah sakit. Tapi rasanya sudah tidak
mungkin, dengan membawa seorang anak kecil disebelahku lebih baik aku pulang. Seorang
lelaki terus menelepon dan memastikan aku sampai di rumah sakit dan mendapatkan
pertolongan. Ya kujawab saja sudah. Biar dia tenang. Aku menegak 2 butir
mefinal dan tidak lama langsung tertidur tanpa sadar aku tidur dengan
meninggalkan seorang anak kecil disebelahku dalam keadaan lapar.
Hampir pagi aku terbangun,
kulihat anak kecil sudah tidur disebelahku, bajunya sudah diganti, bungkus
makanan berserakan dimana-mana, susu cair berceceran dilantai, ah mungkin dia
kesulitan saat menusukan sedotan kekotaknya, pasti dia kelaparan. Entah jam
berapa dia tidur. Kucium keningnya sambil mengucapkan maaf karena kemarin
mengabaikannya. Segenap tenaga kukerahkan demi bisa duduk dan berusaha berdiri.
Bisa, tapi seketika itu juga darah serasa mengalir deras dari ubun-ubun, dan
aku hilang keseimbangan. Mual pun semakin menjadi-jadi. Tuhan... Apalagi ini?
Aku berusaha untuk memulai
aktivitas seperti biasa, namun semuanya sia-sia. Semua makanan yang masuk aku
keluarkan lagi. Aku hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Berkali-kali harus
ditopang walau hanya untuk berjalan beberapa meter ke kamar mandi. Seluruh tubuh
dingin, sendi-sendi terasa kaku, semua sakit, semua sakit, semua sakit, tanpa
mampu mengucapkannya kepada siapapun. Mungkinkah ini akhir? Kalaulah ini akhir,
lebih baik segera saja. Segera saja? Ya, segera saja. Agar semua drama ini
segera berakhir. Aku lelah bermain peran.
Saat tersadar aku sudah ada
didalam mobil , terbaring lemas. Sambil terpaksa kutegak air dalam botol yang
disodorkan anak kecil itu ketanganku. Terpaksa kuminum sambil menahan rasa
mual. Yang kucari hanya handphone, berharap ada seseorang yang peduli dengan
keadaanku dan harapan itu ternyata sia-sia. Dalam perjalanan ini aku tersadar
mungkin ini hanya permainannya, dan aku terjebak dalam permainannya. Mengapa
aku begitu bodoh membalas permainan dengan ketulusan? Mengapa aku terlambat
menyadari bahwa ini hanya sebuah permainan? Bayangkan dia sedang tertawa disana
dengan kehidupan nyatanya, dan aku tersiksa disini karena bertahan hidup dalam
kefanaan. Aku meninggalkan semuanya untuk sebuah kefanaan, meninggalkan semua
impian dan menggantinya dengan sebuah kefanaan, dan disana dia berbahagia dalam
kenyataan.
Aku hanya bisa menjelaskan rasa
sakit yang kurasakan. Beruntung tidak ada ruangan yang tersedia di rumah sakit
itu. Aku memilih untuk pulang daripada dirawat di ruang ugd semalaman atau
mungkin menunggu ada pasien yang meninggal untuk tempat tidurnya aku pakai. Setelah
disuntik, yang ternyata hanya vitamin B complex untuk mengurangi nyeri, aku
memilih untuk pulang dan terlelap dalam kedukaan. Mencoba untuk merasionalkan
keadaan, memahami waktu, berdamai dengan diri sendiri, tapi semuanya gagal.
Terlalu banyak tuduhan yang diberikan kepadaku dari diriku sendiri. Aku
mengintimidasi diriku sendiri. Aku menghancurkan diriku sendiri. Aku merusak
diriku sendiri. Pikiranku kacau, tidak mampu lagi berpikir. Aku bagai seorang
pesakitan yang sedang menunggu putusan mati atas diriku sendiri. Kalaupun harus
mati, lakukanlah sesegera mungkin, agar sakitnya tidak menyiksaku.
Lebih dari setengah jam aku duduk
dihadapan cermin sambil menatap kosong kedalamnya. Air menetes dari ujung rambutku
yang terurai. Rasa sakit perlahan hilang, setidaknya tidak separah pagi hingga
sore tadi. Berusaha tersenyum pada bayangan dihadapanku, namun hanya air mata
yang keluar seiring dengan kebencian yang mendalam padanya. Sudah jam satu, seseorang mengingatkanku untuk tidur daripada duduk terpaku kaku dihadapan
laptop untuk menuliskan kisah ini. Sudah hari baru, aku harus memutuskan sesuatu. Aku keluar dari
permainanmu. Silahkan mainkan permainanmu sendiri. Aku telah menjadi musuh atas
diriku sendiri dan ini jauh lebih mengerikan dari apa yang bisa aku bayangkan
karena tidak ada lagi perdamaian.
This will be
last story i ever make about you and your stupid games.
This will be
the last time you ever cross my mind.
This will be
the last time I wonder where you are or what you are doing.
This will be
the last time I dream about what could have been
This will be
the last time I wish that things were different.
This will be
the last time...
Because You
mean nothing to me anymore...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar