Tapi masih lebih banyak yang belum di packing dan masih harus tertinggal...."

Perlahan aku mulai merapikan barang-barang, membuang yang sudah "tidak terpakai" lagi dan membuang kenangan-kenangan yang sudah seharusnya aku buang. Ya, aku akan pindah dari tempat ini ke sebuah tempat baru yang belum aku kenal. Meninggalkan semua kenyamanan yang pernah aku rasakan disini. Terpaksa. Terpaksa aku harus pergi karena memang sudah waktunya aku pergi. Melepaskan apa yang bukan milikku, merelakan sang empunya mengambilnya kembali.
Keadaannya pun sudah tidak seperti dulu lagi, dulu tempat ini begitu hangat dan penuh kasih sayang. Tapi sekarang tidak lagi, beku, dingin dan hanya seperlunya saja. Mungkin itu yang membuatku tak lagi berat untuk melepasnya. Ups maaf, bukan "tak lagi berat", masih berat sebenarnya dan sulit untuk rela, tapi tempat ini bukan lagi menjadi tempat yang selalu aku inginkan. Rasanya akupun tak lagi dibutuhkan disini. Sudahlah! berkali-kali aku meyakinkan diri, ini bukan untukku, ini bukan milikku, relakan saja, pergi saja, temukan kehidupan yang baru, temukan kebahagiaanku.
Pagi ini, seperti biasa dia menyapaku, dan seperti biasa hanya percakapan yang dipaksakan. Ya, aku sudah membiasakan diri untuk hal ini. Sudah biasa diabaikan, sudah biasa dibiarkan, sudah biasa tidak dianggap, sudah biasa. Seperti sebuah slogan yang sering dipakai dalam menerapkan aturan : "Dipaksa, terpaksa, bisa dan biasa". Keadaan memang memaksaku untuk menjadi begini, aku menjalankannya dengan penuh keterpaksaan, setelah berjalan akhirnya aku menyadari bahwa aku bisa, dan pada akhir aku terbiasa. Terbiasa tanpa kamu dan terbiasa sendiri.... Lagi....
Jangan pernah tanyakan seberapa besar cinta ini, aku berani bersumpah tidak pernah berkurang sedikitpun. Tapi oksitosin menyadarkanku, bahwa cinta yang sejati bukanlah dorongan endorfin, yang begitu menggebu-gebu, yang membuat jantung berdebar ketika bertemu, yang membuat wajah memerah ketika menatap wajahnya, yang membuat tubuh lemas seolah selalu ingin memeluknya. Cinta yang sejati itu dibentuk oleh oksitosin. Sebuah ikatan yang tercipta saat manusia saling memperhatikan, saling mempedulikan, saling menguatkan, saling mempercayai, saling terbuka, setia, serta tidak memberi tempat sedikitpun untuk kebohongan dan penghianatan.
Mungkin yang sudah berlalu hanyalah sebuah reaksi endorphine, mungkin. Atau mungkin juga oksitosin-mu bekerja bukan dengan aku. Atau mungkin.... ah sudahlah percuma mencari penyebab. Bahkan hormon pun aku jadikan kambing hitam untuk meyakinkan diri bahwa memang sudah saatnya berpisah.
Aku masih ingin disini, tapi aku tidak tahu untuk apa aku disini. Apakah kita bisa saling memperhatikan, kalau aku tidak diijinkan untuk menanyakan keadaanmu. Apakah kita bisa saling mempedulikan, kalau aku tidak diijinkan untuk mengetahui kondisimu. Apakah kita bisa saling menguatkan, kalau aku tidak diijinkan untuk berada disampingmu, apakah kita bisa saling mempercayai, kalau aku tidak diijinkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku tidak diijinkan, karena ada orang lain yang telah melakukan. Aku sadar kamu memang bukan milikku, sampai kapanpun aku tidak akan diijinkan untuk mencintai apa yang bukan milikku. Lantas untuk apa aku ada disini?
Aku masih ingin disini, tapi aku tidak tahu untuk apa aku disini. Dulu memang aku dibutuhkan disini, tapi sekarang tidak lagi, pemiliknyalah yang akan mengurus tempat ini. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan disini. Tempat ini memang bukan milikku, aku tahu itu, dan aku harus melepaskan semua impian untuk memiliki tempat ini. Aku kembalikan pada pemiliknya, karena waktu "peminjaman" sudah habis.
Aku percaya segala sesuatu sudah diatur sempurna oleh Sang Khalik. Meskipun perih apa yang aku jalani, tapi tidak sedikitpun aku sesali. Tempat ini telah menorehkan sejarah dalam kehidupanku. Tempat ini telah mengubah kehidupanku. Tempat ini megajarkan aku banyak hal yang tidak akan dapat aku temukan dari tempat manapun di dunia ini. Tak hentinya aku bersyukur untuk kesempatan yang diberikan sehingga aku pernah "merasa memiliki" tempat ini.
Selamat tinggal tempat terindah, sepenggal kisah yang hanya akan menjadi sejarah hidupku, aku akan melanjutkan untuk membereskan seluruh barang-barang, membuang semua kenangan tentang kita. Sesekali kamu menyapaku, bercerita tanpa bercerita, bertanya tanpa bertanya, peduli tanpa peduli, berbicara tanpa bahasa. Walau sambil meneteskan air mata, tidak menyurutkan keyakinanku untuk pergi, aku percaya "aku pasti bisa"dan kelak akan terbiasa.
Sudah saatnya untuk pergi
Pagi ini, seperti biasa dia menyapaku, dan seperti biasa hanya percakapan yang dipaksakan. Ya, aku sudah membiasakan diri untuk hal ini. Sudah biasa diabaikan, sudah biasa dibiarkan, sudah biasa tidak dianggap, sudah biasa. Seperti sebuah slogan yang sering dipakai dalam menerapkan aturan : "Dipaksa, terpaksa, bisa dan biasa". Keadaan memang memaksaku untuk menjadi begini, aku menjalankannya dengan penuh keterpaksaan, setelah berjalan akhirnya aku menyadari bahwa aku bisa, dan pada akhir aku terbiasa. Terbiasa tanpa kamu dan terbiasa sendiri.... Lagi....
Jangan pernah tanyakan seberapa besar cinta ini, aku berani bersumpah tidak pernah berkurang sedikitpun. Tapi oksitosin menyadarkanku, bahwa cinta yang sejati bukanlah dorongan endorfin, yang begitu menggebu-gebu, yang membuat jantung berdebar ketika bertemu, yang membuat wajah memerah ketika menatap wajahnya, yang membuat tubuh lemas seolah selalu ingin memeluknya. Cinta yang sejati itu dibentuk oleh oksitosin. Sebuah ikatan yang tercipta saat manusia saling memperhatikan, saling mempedulikan, saling menguatkan, saling mempercayai, saling terbuka, setia, serta tidak memberi tempat sedikitpun untuk kebohongan dan penghianatan.
Mungkin yang sudah berlalu hanyalah sebuah reaksi endorphine, mungkin. Atau mungkin juga oksitosin-mu bekerja bukan dengan aku. Atau mungkin.... ah sudahlah percuma mencari penyebab. Bahkan hormon pun aku jadikan kambing hitam untuk meyakinkan diri bahwa memang sudah saatnya berpisah.
Aku masih ingin disini, tapi aku tidak tahu untuk apa aku disini. Apakah kita bisa saling memperhatikan, kalau aku tidak diijinkan untuk menanyakan keadaanmu. Apakah kita bisa saling mempedulikan, kalau aku tidak diijinkan untuk mengetahui kondisimu. Apakah kita bisa saling menguatkan, kalau aku tidak diijinkan untuk berada disampingmu, apakah kita bisa saling mempercayai, kalau aku tidak diijinkan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku tidak diijinkan, karena ada orang lain yang telah melakukan. Aku sadar kamu memang bukan milikku, sampai kapanpun aku tidak akan diijinkan untuk mencintai apa yang bukan milikku. Lantas untuk apa aku ada disini?
Aku masih ingin disini, tapi aku tidak tahu untuk apa aku disini. Dulu memang aku dibutuhkan disini, tapi sekarang tidak lagi, pemiliknyalah yang akan mengurus tempat ini. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan disini. Tempat ini memang bukan milikku, aku tahu itu, dan aku harus melepaskan semua impian untuk memiliki tempat ini. Aku kembalikan pada pemiliknya, karena waktu "peminjaman" sudah habis.
Aku percaya segala sesuatu sudah diatur sempurna oleh Sang Khalik. Meskipun perih apa yang aku jalani, tapi tidak sedikitpun aku sesali. Tempat ini telah menorehkan sejarah dalam kehidupanku. Tempat ini telah mengubah kehidupanku. Tempat ini megajarkan aku banyak hal yang tidak akan dapat aku temukan dari tempat manapun di dunia ini. Tak hentinya aku bersyukur untuk kesempatan yang diberikan sehingga aku pernah "merasa memiliki" tempat ini.
Selamat tinggal tempat terindah, sepenggal kisah yang hanya akan menjadi sejarah hidupku, aku akan melanjutkan untuk membereskan seluruh barang-barang, membuang semua kenangan tentang kita. Sesekali kamu menyapaku, bercerita tanpa bercerita, bertanya tanpa bertanya, peduli tanpa peduli, berbicara tanpa bahasa. Walau sambil meneteskan air mata, tidak menyurutkan keyakinanku untuk pergi, aku percaya "aku pasti bisa"dan kelak akan terbiasa.
Sudah saatnya untuk pergi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar