Baru kali ini setelah berbulan-bulan, aku terbangun saat matahari sudah bersinar dengan teriknya.
Fiuh, dimana si anak kecil itu? Ah sudahlah mungkin dia sudah pulang kerumah ibunya. Pasti kakeknya akan memarahinya karena tidak pulang seharian. Entah bagaimana cara dia pulang kerumah. Mungkin seperti ceritanya bersembunyi di toilet kereta sampai penagih karcis lewat memeriksa penumpang. Ah dasar anak kecil gila.
Belum juga sempat bangun dari tempat tidurku, dan belum juga selesai memikirkan anak itu, tiba-tiba muncul makhluk aneh itu tepat di depan wajahku.
"Ayo cepat. Aku sudah mengemas semuanya. Kamu hanya punya waktu lima menit sebelum kita pergi meninggalkan rumah ini."
"Apa?"
"Sudah jangan banyak mikir, sekarang cepat bersiap karena waktumu hanya tersisa empat menit lagi."
Entah apa yang aku lakukan dan pikirkan. Yang jelas dia tidak memberiku kesempatan untuk berpikir dan dalam hitungan empat menit kurang satu detik kami sudah berlari keluar rumah. Pergi menuju ke tempat tidak tahu kemana. Melawan arah angin, menuju ke Barat tapi bukan untuk mencari kita suci. :D
Entah kemana ini, sepanjang jalan yang kulihat hanyalah pohon, ranting, daun, jalan setapak, dan akhirnya kami sampai di padang rumput yang luas ini. Indah sekali tempat ini, di sebelah barat ada bukit dengan hamparan pohon pinus yang berbaris dengan rapi. Ahhhh... aku ingin disini selamanya. Hanya itu yang terbersit dalam benakku. Disini aku merasa tenang. Disini aku melupakan semua bayangan kelam yang bertahun-tahun menyelimutiku. Disini aku..... Tidak... aku pasti salah... aku tidak benar-benar ingin ada disini. Sebentar lagi matahari akan pergi meninggalkan kami dan gelap itu kembali datang. Tempat ini akan menjadi tempat yang suram bahkan mungkin lebih mengerikan dari gelap yang dulu pernah kurasakan. Tidak, aku tidak ingin disini.
"Ayo pulang" ajakku.
Anak itu tak bergeming hanya memandangku aneh.
"Aku mau pulang."
"Kamu mau pulang kemana?"
"Ke rumah itu."
"Rumah yang telah membuatmu bodoh dan menyiksamu selama ini?"
Dan sekarang aku yang tak bergeming memandang kosong ke bukit pinus dihadapanku.
"Kamu siapa?"
Lagi, dia memandangku aneh dengan pertanyaanku yang tampak konyol menurutnya.
"Iya, maksudku namamu siapa. Sejak awal kita bertemu kamu tidak pernah memberitahuku siapa namamu."
Sambil berdiri dia menyodorkan tangannya ke arahku. "Bulan."
"Kenapa namamu Bulan?" tanyaku aneh.
"Entahlah. Mungkin karena tidak tahu lagi mau memberiku nama apa. Yang pasti aku beruntung dia tidak memberi nama depan "Datang" sebelum nama belakang "Bulan" kalo tidak pasti aku akan menjadi bulan-bulanan semua orang."
"Hahahahahahaha......."
"Lalu kamu siapa?"
"Lana" jawabku sambil membalas jabatan tangannya.
"Hah, Celana???"
"LANA, L-A-N-A."
"Oooohhh Lana. Kalau di daerahku perempuan itu dipanggil "ceu" jadi kalo kamu datang ke desaku kamu akan dipanggil ceu Lana. Jadi kalau namaku jadi "Datang Bulan", tanpa kamu aku jadi : "Datang Bulan tanpa ceu Lana"
"Hahhhh????" Sahutku sambil memandangi anak aneh itu tertawa terpingkal-pingkal.
Dan seperti biasa gelak tawa kami kembali memecah keheningan.
Cerita tak pernah berakhir. Tentang sebagian masa yang hilang dari hidupku, tentang hidupnya yang aneh, tentang kencan pertamanya yang membuat dia hampir tidak makan selama dua minggu, tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan tentang kita, cerita yang baru saja di mulai.
Dia memang bulan, yang datang menerangi malamku yang gelap. Bulan sabit kecil yang menghapus air mataku pagi ini. Kecil memang,, tapi cahayanya mampu membuatku melihat ada harapan untuk hari esok. Malam tak lagi menakutkan. Cahayanya membuatku melihat kelap kelip bintang yang berhamburan dilangit cerah malam ini. Sedikitpun tidak ada rasa takut. Hanya saja masih ada terbersit rasa ngilu di ulu hati setiap kali tanpa sengaja mata menoleh ke arah hutan yang mengantarkan kami kesini.
Ah masa lalu. Aku harap engkau segera berlalu. Kumohon jangan ganggu aku lagi. Ijinkan aku bahagia disini, tanpa apa-apa, hanya ditemani sinar sang rembulan.
***
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar