"Lana, kamu dimana??? Lana... Lana... LANAAAA... Jawab aku Lana!!! Lanaaaa..."
"Lan... bangun Lan.. Lana..."
Sambil ketakutan aku membuka mataku perlahan.
"Bulan, kamu dengar suara tadi? Seseorang mencariku. Orang itu. Aku takut dia menemukanku dan menghabisi nyawaku."
"Tidak Lana. Itu cuma mimpi. Kamu hanya mimpi! Tenang! Aku selalu menjaga kamu."
"Tidak Bulan, ini seperti nyata. Aku takut Bulan. Jangan tinggalkan aku Bulan. Kumohon, Hanya kamu yang aku punya saat ini. Aku takut Bulan."
"Iya, tenang, Tenang! Tidak ada satu orang pun yang akan menyakiti kamu. Tenang" sahut bulan seraya memelukku.
Detak jantungku yang tidak beraturan karena ketakutan berangsur normal. Aku memeluk Bulan erat sekali. Hanya itu yang bisa membuatku merasa tenang. Lama sekali, sampai rasa takut itu benar-benar hilang. Perlahan aku lepaskan pelukan itu. Kasihan juga dia harus menahan berat badanku yang bertumpu di bahunya. Aku membuka telapak tanganku sambil menatap matanya. Tanpa kata berisyarat agar dia menggenggam tanganku.
"Kamu jangan pergi. Temani aku disini."
"Iya. Aku disini."
Dan malam itu pun berlalu dengan genggaman yang tidak terlepas sedetikpun.
***
Bulan.
Pemeran utama yang baru saja muncul di episode kehidupanku ini ternyata bukanlah seorang asing yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Takdir mengantarnya dengan mesin waktu dari empat belas tahun silam. Sebuah kisah yang tidak pernah dimulai dan tidak pernah diakhiri. Seseorang yang memang mengenalku dengan baik, bahkan saat memori otakku tidak mampu mengingat tentang diriku saat itu. Dialah yang memunculkan kembali ingatan-ingatan yang hilang itu. Cerita yang telah terhapus sekian lama tiba-tiba muncul kembali. Mungkin semesta kuatir akan keberadaanku dan mengirimkannya kesini untuk menyelamatkanku dan menyadarkanku dari kebodohan ini.
Sejak malam itu, dia bukan lagi anak kecil aneh yang seperti badut konyol membuatku tertawa. Dia adalah tempat ter-aman dan ter-nyaman didunia ini. Dialah duniaku sekarang, orang pertama yang selalu aku ingat setiap terbangun dari tidurku di pagi hari, dan orang terakhir yang ingin aku lihat wajahnya sebelum tidur membawaku untuk menemuinya kembali di dalam mimpi.
Malam tidak akan pernah berlalu tanpa genggamannya. Hari tidak akan dimulai tanpa senyumannya yang menghangatkanku melebihi hangatnya matahari pagi. Sulit untuk berpisah dengannya. Mengijinkan dia pergi sejenak pun rasanya sulit. Aku ingin dia selalu ada disampingku. SELALU.
"Cinta itu tidak bodoh sayang." Nasehatnya berkali-kali.
Memang, bertahun-tahun aku terjebak pada cinta yang bodoh. Aku cinta dan aku bodoh. Dengan mengatasnamakan cinta aku melakukan semua hal bodoh untuk orang yang ternyata hanya pura-pura mencintaiku. Semua sakit sudah aku rasakan, dan cinta membuatku tetap bertahan sampai maut hampir saja menghampiriku. "Apa dia peduli?" Tidak. Dia sibuk tertawa dengan dunianya dan sedikitpun tidak menoleh ke arahku.
Ah sudahlah, semua sudah lewat. Aku berterimakasih pada semesta yang mengirimkan Bulan dari jauh untuk menerangi malamku. Sekarang aku sibuk tertawa dengan Bulanku. Malamku tidak lagi gelap dan suram. Sampai kapan? Entahlah. Mungkin hanya sebuah kemustahilan yang ku semogakan. Syukuri saja hari ini. Nikmati saja udara segar yang kuhirup setiap hari. Mungkin saja waktunya tiba, udara ini tidak segar lagi, mungkin saja semesta membawanya kembali ke masa-nya.
Berbahagialah untuk hari ini!
Berbahagialah denganku, Bulan.
Sepertinya aku mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar